Pengalaman saya berteater di Eropah, dengan Peter Brook, Stavros Dufexis, Yoshi Oida, .... Workshop Tribuana.
Ini artikel bersambung, bagai sesaji, memenuhi saran Putu Wijaya membuku pengalaman saya berteater dengan Peter Brook, juga dengan yang lainnya. Dari teater panggung ke teater kehidupan.
Semoga marga menerang, waktu mengalirkan kenangan pengALAMan cemerlang, menyinar, berguna untuk semua.
Bijaksanalah mereka yang mengerti diri dan lingkungannya. Membangun bersama, berbakti.
di kinikan , senin 11 desember 2017, 19h36
Hari ini 10 Desember 2017, Artikel 1.
Kemaren Putu Wijaya menyarankan saya via Face Book nya, agar saya mulai menulis pengalaman saya di Mahabharata bersama Peter Brook. ahh, saya bukan penulis cerita, atau puisi, atau PENULIS!
Sebenarnya sudah dulu ingin saya haturkan pengalaman saya, catatan waktu, yang masih cerah tertulis di ingatan, di kenangan. Menghormati permintaannya, saya mulai berteater dengan Putu Wijaya di Jogya, ditahun 1968 an, kemudian saya dibawa Putu ke Mas Willy untuk memperkenalan pernafasan Bali di Bengkel Teater (Qasidah Barzani, Oedipus, Macbeth, Hamlet, Pangeran Homburg, Mastodon dan Burung Kondor). Anehnya, Sardono juga meminta saya memperkenalkan Pranayama satu malam, Pak Kakul memberikan Mudra tangan, Pak Mangku memercikkan tirtha ke semua peserta, di latihan Cak Rina, di desa Teges Bali, cikal bakal Dongeng Dirah yang mengkait saya ke Paris, meng orbit international dengan Peter Brook, ....
Sang WAKTU mencatat, menulis, meski kita tak sadar akan catatannya. Nah ada sentir keSADARan yang perlu dipelihara. Sadar berdasar pengalaman yang di ingat ataupun yang tidak teringat. Pemunculan kenangan indah menjadi gairah hidup menyegar, itu tergantung pertanyaan, keadaan, hubungan dengan orang lain dalam bentuk guru-murid, berdialog secara dialektik/ meningkat, menangga kejalan hidup, atau kekesadaran meningkat, men spiral.
Ingatan, kenapa saya jatuh dijalanan kreasi teater Peter Brook dari 1979 -1991, 4 produksi teater berbahasa Perancis dan Inggris: Conference of the birds and The bone (l'Os de Morlam), Carmen,Mahabharata, The Tempeste, dengan tour di beberapa negara: Eropah, Amerika, Australia, Jepang. Saya mulai dari "La Conférence des Oiseaux".
Ketika itu, akhir tahun 1978 Peter Brook mencari seorang ahli Topeng untuk kreasinya: Conférence des Oiseaux. Dia menemukan saya di Nice, kota pantai Perancis selatan. Dari mana dia tahu, gaib tak tersangka. Waktu itu saya jawab: tidak, karena saya merasa baterai saya perlu charging ke Bali, Indonesia. Tapi teman saya waktu itu bilang, kenapa kamu tolak? Peter Brook itu sutradara teater international yang terkenal? Disana ada aktor aktris berbagai kebangsaan. Ah, terkenang ingatan saya ditahun 1960-70an banyak turis ke Bali. Kuta beach belum banyak warung turisnya, ada Dayu yang jualan dipinggir jalan. Turis hippys beberapa gelandangan, surfing. Mengamati mereka, dan chat di pantai Kuta untuk praktis bahasa inggris, muncul keinginan bikin grup teater international. Ahh satu ide angkuh yang tidak saya sadari keangkuhannya. Nah, dengan kenangan itu + peringatan teman saya waktu itu di Nice, saya jadi melék. Tapi Peter Brook sudah pergi dengan assistennya yang mengunjungi tempat tinggal tumpangan saya dirumah Jacques Fassola (almarhum) di Nice, dimana saya menyuguhkan teh dan sedikit demonstrasi tentang penggunaan topeng memenuhi permintaannya, topeng Bali yang terpajang ditembok kamar tidur saya, milik Jacques Fassola. Topeng tua, topeng merah, jenis keras: patih, topeng alusan Arsa Wijaya, putih, raja, Topeng bondressan, dan ketika sampai pada topeng rangda ...saya ingat odalan di pura Penambangan Badung, Pemecutan, Pemedilan tempat lahir saya 1945, ada upacara ng"Réh" an, sang penyungsung "aktor" memasuki keadaan "trance" (kerangsukan). Saya dihidupi waktu itu dibalik topeng oleh "ingatan/kenangan" waktu kecil di Bali, di kuburan, lewat tengah malam, menyaksikan upacara ngeréhan. Ini tentunya buka seni acting dengan teknik Stanilavsky, Bolelavsky, Grotowsky, dan sky sky lainnya. Saya melahirkan kembali ingatan suara dan gerakan tangan dan getaran badan. lts it goes, biarkan alam kenangan itu berlalu didiri. ooooohhhhh, ééééhhhhh, aaaaiwyyyya rumiliang taksun nira.... ohhhohohhh éhhhhh ngrrrkkkkkk ......
Lalu Peter Brook bilang cupkup, cukup.
"Do you want to do La Conférence with us?"
Oh Peter, i don't speak France, and I have one more workshop in Geneva, and then I will go back home to Bali.
Tapi seminggu kemudian Asistance de Peter Brook Regine Guitzchula menelpon kerumahnya Jacques Fassola, dimana saya waktu itu: "Are you sure you don't want to work with us?"
Dengan lancang saya jawab: " yes i will do it", itu tentu di motori oleh ucapan teman saya yang bilang Teater Peter Brook dengan actor berbagai kebangsaan, dan juga mimpi saya bikin (kerja dengan) group international.
Nah, Bulan February 1979, tersangkutlah saya dengan projeknya Sardono W.Kusumo : Dongeng dari Dirah, La sorcière de Dirah, 4 anak kecil, 30 penari, penabuh, menyanyi, aktor, master tua Topeng Bali: Pugra, Tempo, Ida Bagus Geria (dalang) I Made Gerindem (penabuh semara pegulingan desa Teges). Itu atas Undangan Jack Lang (ex minister of culture of France, waktu itu dia direktur Teater Palais de Challiot, Paris) yang mengirim telegram kepada Amna/Sardono, boleh menambahkan anggota crew. Maka terkaitlah saya, yang ikut menemani Sardono dalam penciptaan Chak Rina (yang dilarang waktu itu) di Teges. Trimakasih MasDon yang telah mengorbitkan saya di lingkaran teater dunia. Kemudian tentunya thanks to Peter Brook, merci à Jacques Fassola (kolektor topeng, barong, gamelan Bali, pencinta seni Bali dan sekaligus impressario, sopir, di Group Patra kami: Netra, Dewi, Soegeng), dan merci à Kathy Partouche teman saya waktu itu, yang mencemeti saya dengan info group international nya.
Tiba saya pertama di Gare de Lyon, Paris, dijemput Peter Brook langsung dibawa ke tempat latihan di Chateau de Vincennes, dimana para aktor international menunggu, saya dengan satu koper topeng Bali, milik Jacques Fassola dan ada beberapa peninggalan topeng Dongeng Dari Dirah yang dihibakan kepada saya dan Netra untuk memulai gelandangan di Eropah, dimulai ditahun 1974 , Juni, dipekerjakan oleh Marcel Robert sutradara dari Geneva , projek recherche pertunjukan dengan topeng Bali dan topeng dari Lötchental, dipegunungan Suisse. Ah, itu cerita lain, ada juga pengalaman gaib saya disana.
Latihan dihari pertama di Chateau de Vincennes, Peter Brook meminta saya memnyajikan perkenalan dengan topeng Bali. Nah sudah tentu mereka melahap dengan rasa kelaparan, yang waktu itu seni Topeng sangat à la mode di Eropah, Pementasan l'Age d'Or de Ariane Mnuchkine pendiri teâtre du Soleil, menggunakan topeng topeng Comedia dell'arte. Perlu diketahui aktor Teater du Soleil juga datang melihat "la Sorcière de Dirahnya Sardono di teater Gaîté Lyrique, Paris. Dan mereka juga diperkenankan mencoba topeng topeng Dongeng Dirah.
Nah keduanya, actor di Peter Brook waktu itu (Centre Internation de Recherche Téâtrale: CIRT), menggunakan topeng dengan gaya mereka. Actor teater du Soleil banyak gerakan cepat, jungkir balik, juga akrobasi ringan, Actor CIRT ada yang menaruh topeng diperutnya, dan setelah mencoba topeng ditaruh dilantai, ada yang melangkahi, ..........aduuuuuuuuhh, rasa "kerama suci" saya dari tradisi Bali teah diperkosa, saya ternganga, terpancang, terpaku, rasa tak enak seperti diperkosa dari dalam. Peter Brook yang mengamati ke-ada-an saya, berkata menyela: "arretez, arretez". Topeng di ringkus di kembalikan ke koper aluminium (sropak, dalam pewayangan). Rupanya Peter Brook menulis artikel di satu buku kecil, tentang kejadian ini tanpa menyebutkan nama saya, tapi sebutan: aktor Bali. itu awal tahun 1979. Ditahun 1974 ketika aktor teater du Soleil memperlakukan topeng Jawa, Bali di téâter Gaîté Lyrique, setelah pertunjukkan atau waktu libur, maaf saya lupa, say juga merasa "risih", tak enak. Bagi saya taksu (wibawa, tenaga magis di benda, topeng, selanjutnya juga tenaga magis di kata, suara, ...) itu membawa kita ke sikap: hormat, menyala bara magis/gaib didiri, dalam kenangan ke Bali an saya :mempersiapkan diri nyungsung ida betara/dewata tenaga gaib/angker yang akan turun bertahta di diri, actor servant in an act of devotion, pregina pemangku mengabdi.
Maka banyak hal hal yang terlatahkan di sikap hidup saya di Eropah, dalam pengembaraan, hidup berteater, hal hal yang keramat, pantangan-pantangan mendapat tantangan perobahan. Baik atau buruk itu cerita lain perlu diteliti, diperdalam pemahamannya.
Klick gambar ini untuk lihat Video, secuil adegan La Conference of the Birds, Peter Brook.
ada juga interview beberapa aktor.
Di satu adegan di Conference of the bird nya CIRT Peter Brook, saya diminta untuk memerankan karakter astrolog semesta. Ketunjuknya: "Tapa you try to incarnate the charakter of Rangda, but without the mask". "Mainkan karakter Rangda tanpa topeng". Béhh, apa né nu ngurip ring jiwa raga?" Apa yang masih menghidup dijiwa raga. Hanya kemampuan menghidupkan kenangan yang dipilih. Kenangan datang dari sropak pengalaman, catatan waktu. Tanpa pengalaman, solahé kenéh kenéh. Nggolék nang ndi sumberé? Nah disitulah kegunaan menngendali tenaga muda bergairah kreasi, anéh anéh, orak opo opo, asal ada acep di cipta yang menyinar dan memandu, itu hanya bisa digali dari sumur perbendaharaan tradisi, adat istiadat yang tak didapatkan di sekolah atau di universitas. Ada profesor tamatan universitas, ada tamatan pengalaman, yang tentunya akan mengunggul kalau itu berakar di bakat, yang terkembangkan di lingkungan hidup masa kecil bertradisi, beradat, beradab.
Dalam satu adegan "L'Os de Morlam et certificat" (ini pasangan pertunjukkan dengan "La conférence des Oiseaux") saya diminta memerankan peran "Angel of Death" hanya dengan celana kain sarung Bali, tanpa baju, sebetulnya celana itu adalah celananya Max Carlos, dalam Mastodon dan Burung Kondornya WS Rendra ditahun 1973. Celana itu juga saya gunakan mendaki gunung diakhir musim dingin, masih sedikit bersalju, di pegunungan Suisse, kreasi pertunjukkan Marcel Robert, satu setengah bulan riset di gunung, di Lôtchental, dimana Topeng magis diparade satu tahun sekali akhir musim dingin, akan berpadu dengan topeng Bali di kreasinya Marcel Robert. Ah ini ada bencananya, itu cerita lain, ketika saya main di satu produksi di Paris dengan Marcel Robert: Tabarin, sutradara David Esrig.
Topeng punya tenaga magis, angker. "aktor" yang memainkan (nyungsung, bahasa Bali) harus mempunyai dan memenuhi syarat syarat tertentu. Disini perlu persiapan dan ritual, dan tanya pada diri, apakah saya punya....?, kalau ada, biar sedikit, bisa diolah, pengolahan itu di kesempatkan oleh acting teater panggung sandiwara (sandi sandi pewarahan), atau panggung kehidupan.
Ketika saya memainkan peran Shiva di Mahabharata, saya diberikan bedak kapur kuning untuk titik kuning dimata ketiga antara dua alis dan joga digoreskan di Badan. Tetapai bedak make-up ini tak memberikan saya cukup ungkitan, bangkitan yang dalam, bubur berwarna rasanya terbatas pada seni rupa saja. Dari rupa saya perlu membangkitkan sesuatu, roh, jiwa, taksu, yang menggetarkan sesolahan saya, suara dan gerak. Dimana mencarinya dan mendapatkannya? Lagi lagi saya harus mengeduk sumur ingatan pengalaman. Membangkitkan magis di akting, di kehadiran, baru saya ketemukan dua hal untuk menghidupi Betara Shiva, sebagai Betara Guru dan Betara Pemusnah (Brahma, Wisnu, Shiva: Api, Air, Angin) waktu itu:
1: hiasan bedak kuning, pengalaman mengikuti upacara nge "Réh" ang Rangda, dan juga kenangan pengalaman di salah satu temple di india, jam 03h00, dimana ada upacara trance "chau" (kira kira itu namanya) orang bisa bertanya pada "dukun penenung" (oracle) itu. Ini Pengalaman kami, 10 hari mengunjungi India, dengan jadwal yang ketat dan penuh sesandian, mencari pengalam ke-India-an untuk penyerapan penjiwaan karakter di Mahabharata. Dukun itu (sang oracle) juga badannya di boréhi (dihiasi) bedak/lumpur kuning dari serbuk kayu cendana. Bau cendana membawa ingatan saya ke upacara di Bali yang magis itu.
2: kenangan upacara di odalan pura di pura Penambangan Badung, kampung kelahiran yang banyak upacara adatnya.
Sayapun meminta kepada Chloe Obolensky, costume and prop and scenic disigner nya, bubuk cendana untuk dioleskan di kening dan badan saya, hingga bau itu mencipta/menemani/menjiwai bayu sang aktor. Nah ini rupanya seni kaitan, seperti link internet.
Kesempatn kita main dilapangan terbuka adalah di festival Avignon, Los Angeles, Australia, Athenes. Ini mungkin akan saya kembangkan lebih lanjut atas bantuan pembaca menulis komentar dan pertanyaan, pembangkit kenangan yang tidur.
Aktor hadir untuk menghidupkan sastra yang tidur.
Dalang berperan membangkitkan, menghidupkan wayang, benda mati, dikotak (seropak)nya.
Hidup ini? .......
bersambung
Montreuil, minggu, 10 desember 2017.
Montreuil, 11 desember 2017. Artikel 2.
Ini sedikit kenangan, bagaimana Peter Brook memulai latihan Mahabharata.
Ingatan saya, waktu itu disebuah ruangan di di Paris, di jalan rue St.Sabin, Para actor berbagai negara kumpul disitu, dan setelah semua duduk tenang dilantai, diatas karpet, Peter Brook meminta setiap aktor bercerita tentang pengalam hidup yang menyangkut pertengkaran keluarga. Saya tidak ingat apa yang mereka ceritakan, juga sayapun tak ingat.
Sekarang kalau saya terka, mengapa Peter Brook memulai dengan thema pertengkaran keluarga, sudah jelas karena Mahabharata adalah pertengkaran dua sauda dalam tingkat yang maha besar, maha raja, melibatkan beberapa kerajaan pendukung dua saudara yang bermusuhan itu dalam perang dahsyat di Kuruksetra.
Persiapan Mahabharata yang memakan waktu 9 bulan itu, dimulai dengan banyak latihan "perang", seni berkelahi, seperti: silat, kungfu, kalari payat, kyu do (seni meditasi panah jepang ). Ditahun 1983 saya ikut dalam tour CARMEN Peter Brook di New York. Selama tinggal disana, Peter mencari guru kung fu, saya dan satu aktor disuruh belajar dengan guru kung fu, orang Porto Rico. Dia mempunyai Do Jo di Bronx didaerah orang Afrika, disebuah ruangan bekas pabrik. Guru Silat turunan Afrika itu orangnya luar biasa tegar, dia memperlakukan kami berdua, seolah olah sudah mahir ber kung fu. Jadi pukulan genggam tangannya memang pukulan jago kelahi, juga tendangan kakinya, tak bersopan santun. Jadi bukan main main. Dan sayapun mendapat pelajaran kehidupan, seperti berkelahi dengan orang negro. Beberapa pukulan tangannya pada awalnya sangat sopan, saya juga sopan. Ah ini hanya seni gerak teater, pikir saya. Tetapi semakin latihan berjalan lebih mendalam dan serius dia mulai leluasa melakukan tendangan kaki juga, dan saya samput dan hindar sebisanya, dengan jalan santun lebih serius.
Teringat saya latihan Silat Bangau Putih, PGB Bogor, yang diturunkan di Jogya oleh Max Palar, seorang pewaris dari 18 pewaris PGB Bogor bapak Suhu Subur Rahardja. Untuk Macbeth nya Rendra, Rendra menemukan Silat PGB Bogor. Suhu melantik 18 bersaudara di Bengkel Jogya, saya termasuk didalamnya. Dan Paman saya juga guru Silat di Pemedilan, Denpasar, ketika kecil saya menyaksikan tiap malam latihan silat seni berkelahi bela diri di pekarangan rumah. Tapi saya tak tertarik dengan perkelaian. Bapak seorang guru SD, lebih mengarah ke seni senam kesehatan, Taiso jepang.
Nah dengan latar belakang yang saya paparkan diatas, saya tidak merespon pukulan dan tendangan guru Kung Fu Afrika Porto Rico itu dengan serius. Maka sang pendekar hitam itupun memberikan saya cicipan tendangan Kung Fu profesional seorang Champion diantara paha saya. Boungggg. Aduhhhhh. Dua tangan saya secara reflex menekap alat kelamin saya. Terasa pelajaran hidup benar benar diperlukan buat seni acting yang bermutu. Guru itu berkata:"Kung Fu is not a soft game, it is a hard life, you should able to take it, and handle it." Wow, sadar saya Do Jo orang hitam di Bronx, memang daerah yang tak aman untuk dikunjungi sendri dimalam hari. Nah itu pelajaran, pengalaman yang akan menjadi perbendaharaan acting, memanggil hidup kembali apa yang telah dialami, disaring, diolah untuk membumbui akting teater.
Nah setahun kemudian, 1984, kita mulai latihan di Paris. Di teater Bouffes du Nord Alain Maratrat actor yang dikirim ke China untuk belajar kungfu dan juga dia kembali membawa beberapa senjata perang/kung fu. Teater Peter Brook mengundang juga beberapa master martial art datang ke teater untuk memberi pelajaran ilmunya, diantaranya:
1: seni Kung Fu, master Dan Shwarz, dari Paris.
2: seni Kalaripayat, master dari India didatangkan special dari Kerala, India, dengan asistant nya untuk melatih actor. Ada tiga aktor yang secara intensif, di upacarai penerimaannya memesuki seni Kalaripayat: Alain Maratrat, Jean-Paul Denizon dan saya, di tingkat 4 bangunan teater Bouffes du Nord.
3: seni Kyu Do, Michel Martin, panah ceremony Jepang, setelah Mahabharata, saya meneruskan juga mempraktekkan Kyu Do di Paris, dan ketika pentas la Tempête 1991 di Tokyo saya sempatkan praktek di Dojonya Onuma Sensei di Tokyo, juga belajar Shakuhachi dengan master Sakai.
Tahun 1992, saya membikin one man show di Roma, teater Argentina, dibagian akhir pertunjukkan saya berjudul "BAYU" ada Kyu Do juga dengan hassetsu nya = 8 tahap yang harus dilakukan sebelum melepas panah.
Hal yang menarik, satu ketika di pagi hari latihan phisik di teater Bouffes du Nord, Peter Brook meminta bagaimana kalau dua maestro martial art dipertemukan, master Kung Fu dan master Kalaripayat.Pagi itu master Kalaripayat menyuruh asistant nya menghadapi Dan Shwarz. Sudah tentu itu dua seni berkelahi/berperang/bela-diri yang berbeda. Pertemuan dua orang itu nampaknya tidakmenemu satu sepakatan seni gulat, rupanya Dan Shwarz memberi petunjuk kepada asistant guru Kalaripayat yang lebih besar dan gemuk dari Dan Shwarz, Guru Perancis itu memberi saran bagaimana menangkis pukulan, dll. Sedang dalam seni Kalaripayat lebih banyak seni oleh tubuh sehat dan indah. Tetapi ada juga seni menggunakan gada, itu senjata perang di Mahabharata. Pedang dan perisai besi, pedang panjang elastik yang digulung melingkar, ketika ditebarkan bersuara bagai halilintar.
Satu pengalaman yang tak hilang dari ingatan saya, adalah ketika saya berhadapan dengan guru Kalaripayat dengan pedang dan perisai besi untuk bisa menrima, menangkis tebasn sang guru, saya lalai/lupa gerakan posisi tangan kira didepan kepala, itu karena saya lupa urut urutan rangkain gerakan nya. Maka kalau saya tidak berhadapan dengan sang Guru, yang mahir menghentikan pedang bajanya didepan kepala saya, mungkin satu centimeter dari tengkorak saya, saya sudah tak ada lagi dibumi ini. Lalu mata sang guru membelalak dengan mengucapkan kata-kata bahasa Kerala yang tidak saya mengerti, hatrrr karll kddr kamdjgllrr ...., dengan sorotan matanya menyala seolah olah saya melihat kerlipan halilintar, api, matahari. Dan ini tak terlupakan, menjadi bekal hidup saya, satu bara menghidup seni acting. It is not a game, it is about life and death. Bukan main main, ini soal mati dan hidup. Karena itu, ketika saya bertanya kepada penterjemah Guru Kalaripayat, kenapa dia menolak tawaran adu gulat dengan master kung fu Perancis, jawabannya: " bila dua master bertemu dalam perang, salah satu harus mati".
Ingat saya dengan satu kalimatnya Putu Widjaya di Jogya, entah suatu malam makan bakso, atau minum sekoténg, atau malam latihan drama, : "Pa, aktor itu lebih berat tanggung jawabnya dari pada militer, di disiplin militer kalau tentara sakit, bisa ijin tak ikut hadir, tapi di teater kalau malam akan pertunjukan, tak boleh tak hadir, penonton menunggu, tanggung jawab dihormati".
Beberapa tahun kemudian saya menemukan bahwa disiplin militer patuh pada perintah, disiplin teater patuh pada kalimat karakternya, tapi juga punya hak ad lib, artinya kebebasan berkreasi. Jadi disiplin tegas seperti militer tapi kreativitas luwes melestari di laku actingnya. Ada baiknya disiplin (nggak kaku, yang kaku akan patah) tapi juga dengan kelestarian, keluasa kreativitas. Yang luwes, bertahan hidup. Art martial, art mempeertahankan/memelihara hidup. Hidup yang bagaimana? Nah itu tiap orang menentukannya.
Yang menjadi patokan saya dalam bercerita, beracting, atau bekerja , adalah awal kalimat dari Bhagavan Vyasa, penyair Mahabharata itu, menjawab pertanyaan seorang anak:
- Tentang apa cerita tuan pujangga?
+Ceritaku tentang dirimu, ..... bila kau dengarkan dengan seksama dan mengikuti cerita, anakku, kau akan menjadi lebih cerdas, lebih bersinar buah renungan otakmu, memberi umur panjang, dan pada akhir cerita engkau akan berubah (transformasi), menjadi "orang lain" yang lebih cemerlang.
ahh, ingatan saya berhenti dulu disini, semoga terbit gemelintang kenangan tulisan Sang Waktu, di kemudian.
Montreuil, senin 11 desember 2017, 19h36
Rebo, 13 desember 2017. Artikel 3.
Putu Wijaya, via Facebooknya, mengungkit kenangan tentang pemusik Jepang Toshi Tsuchitori yang menemani banyak karya Peter Brook.
Toshi melatih kita menggunakan tambur besar: Kodo dari Jepang, dua tambur besar yang dipajang seperti gantungan gong, vertikal, dan satu tambur lebih kecil, posisi kulit horisontal. Sebagai pemanasan, warm-up, Toshi menuntun kita gerakan mendayung gaya jepang dengan teriakan à la karaté: hé ho, hé ho...héé sa, hééé sa, hé sa yéé sa, hé sa yéé sa. Gerakan dilakukan dalam posisi grup melingkar, dengan posisi kaki kuda kuda karaté. Kemudian satu persatu, Toshi memberi kesempatan memukul satu kali tambur besar Kodo posisi vertikal, ya hanya satu kali dengan kuda kuda karaté yang mengakar bumi, posisi terendah, Boumm. Ternyata yang paling gagah dan tegap kuatpun tak mampu membangkitkan suara maksimum genderang Kodo itu? Toshi yang badannya kecil tapi tegar itu, pukulannya menggetar tambur dengan suara yang menggema. Ternyata, setelah saya kenangkan, kekuatan otot, kemauan, emosi tak cukup membangkitkan gema alami si tambur? Posisi pukulan karaté dibadan perlu dibenahi dengan betul. Hentakan bukan saja dari tangan, atau bahu, tapi meminta dukungan yang menghentak dari pinggul dan mengakar kukuh di kaki. Setelah semua dapat gilirannya, seperti ritual membangkitkan spirit tambur Kodo, lalu Toshi meminta 2 orang menabuh tambur dari dua sisi selama mungkin dan sekeras mungkin. Bila posisi badan tak terhormat, pukulan melemah, maka harus menyerah diganti oleh yang lainnya tanpa memecah ritme yang telah ada. Toshi memberi saya tugas memukul tambur horisontal dengan kelanggengan irama dan suara sepenuh/ sekuat mungkin. Itu sering berlangsung nonstop selama 15-20 menit. Aduhhhh, lengan dan bahu saya payah, sakit, tapi tambur meski terus mendebur bagai ombak besar Parang Tritis.
Olah tambur Kodo itu saya kembangkan untuk workshop Tribuana, di Perancis, Italia, Spanyol, Yunani, Caracas.
Kodo Tribuana, Koukoul jagat.
beberapa photo Kodo Tribuana
https://www.facebook.com/tapa.sudana/media_set?set=a.10207787409177047.1073741871.1048743615&type=3
Ini menjadi ritual latihan selama 9 bulan, diselingi setiap hari ada latihan gerak tari Katakali yang dituntun olah Karuna Karan, guru tari dan penari asal Kerala, yang tinggal di Paris. Kung fu maestro Dan Schwarz, Alain Maratrat aktor (pemain Bhagavan Vyasa dalam bahasa Perancis) yang diserahkan memimpin olah tubuh agar badan tegar mendukung tubuh ksatria perang. Sudah tentu kita berlatih juga berkelahi memakai beberapa senjata. Banyak latihan latihan yang memaksa kami melakukan gerakan gerakan yang berat dilakukan. Selama tiga bulan tubuh aktor berkembang, lengan mengembang, sehingga kostum yang tadinya sudah pas, harus dirubah, dibesarkan lengannya.
Sebelum perdana pertama di Festival Avignon 1985, ada beberapa aktor (2 singat saya) yang harus mengalami operasi lutut. Teater CIRT Peter Brook memilih specialist operasi lutut yang terbaik, specialist team sepak bola Perancis.
Ah saya juga mengalami sakit pinggang, lumbago, 7 hari harus berbaring tak bisa gerak. Waktu itu saya tinggal distudio rue du Cherche midi, tingkat 6, tanpa elevator. Studio 12 meter persegi, chambre de bonne, studio yang dulunya untuk tinggal para babu/ jongos. Studio itu dialihkan kepada saya, atas jaminan CIRT, dulunya di sewa oleh Toshi, dan sebelumnya konon anak putrinya Peter yang tinggal disitu.
Adegan perang, perkelahian ada beberapa dalam babak ketiga. Saya memerankan Salya, kesirnya Karna. Kerata yang di film ditarik oleh dua kuda hitam, di film hanya sebuah roda dan pecut. Saya sangat senang menggulingkan roda kayu itu dipanggung yang kecil di Bouffes du Nord, dengan cemeti yang mencetus, dar dar dar, teriakan menggairah, dua roda berputar melingkar terkadang menyerempet penonton yang duduk dilantai depan.
Kembali dari festival Avignon, pementasan di alam terbuka, kita berlatih lagi untuk versi teater ruangan tertutup, dan beberapa adegan perkelaian dikurangi. Menurut saya, Peter telah memperhitungkan daya tahan, kemampuan aktornya utnuk memelihara penyutradaraannya, agar bisa dipertahankan kwalitasnya selama tour internasional.
Ini sekedar bayangan film dan teater gaya Peter Brook, bagaimana roda menyarankan kereta. Ahh, ingat saya waktu kecil main dengan roda sepeda meluncurkan roda dengan tongkat kecil, berlari. Menurut resapan saya hingga kini, seni penyutradaraannya adalah seni sugestif (seni saran ?).
Bila saya bayangkan kenapa saya memainkan Salya sang kusir, konon kakek saya dulu juga kusir dokar, waktu mudanya. Penumpangnya adalah pedagang garam, Kuta-Denpasar. Salah satu penumpangnya adalah nenek saya, begitulah terjadi jalinan asmara yang menumbuhkan bibt bapak saya dan saya, ...dst. Paman dari keluarga ibu saya, I Made Bandem dari Abian Kapas, Denpasar juga penari topeng dan kusir dokar. Saya harus mengendarai dua kuda hitam perkasa (kuda aktor, konon kuda itu mengerti bahasa perancis secukupnya) untuk film yang diputar di studio.Belum pernah sama sekali naik kuda, apalagi mengendarai kuda diatas kerata dengan penumpang Karna. Sangat bergairah hati saya meski hanya sebentar saja. Mungkin secara tidak sadar ada kebangkitan sesuatu didiri saya, warisan tertidur dibadan milik almarhum paman dan kakek, si kusir dokar. hmmmm barangkali begitu.
Peter Brook rambut putih sweeter merah,
shooting film di studio Joinville le pont, dipinggiran kota Paris. Semua shooting Mahabharata dilakukan di studio.
Pengalaman yang menarik selama shooting film itu, adegan ketika Shiva berhasil menghindar dari sasaran panah sang Arjuna, dengan menangkap panah dengan tangan dan mulutnya, disiapkanlah sistim, teknik dengan menggunakan panah yang diluncurkan lewat plastik transparan, tetapi rupanya sangat komplek, makan waktu, dan Peter tak puas. Biarkan Tapa olah sendiri tanpa instrument/teknik.
Saya lancarkan sendiri dan tangkap dengan tangan sendiri. Tentunya dengan kelihaian seni editing, yang lincah dan persis, kelihatannya ...Wowww.
Saya lancarkan sendiri dan tangkap dengan tangan sendiri. Tentunya dengan kelihaian seni editing, yang lincah dan persis, kelihatannya ...Wowww.
seperti video youtube diatas.
Kemis, 14 desember 2017, artikel/tulisan 4.
Pengalaman saya sebagai asisten sutradara Stavros Dufexis, kreasi dan pementasan Oedipus raja di Madrid .
Projek kreasi dan pertunjukkan Oedipus, dilatih di Madrid, Teatro de La Abadia, direktor José Luis Gómez , (direktor teater, pemain Oedipus), untuk pementasan di Festival Merida. Musik: Chritodoulos Chalaris.
Saya ketemu Stavros di Paris berkat berita dari teman sekolah teaternya di Jerman, aktor Barcelonia: Alberto Vidal ahli topeng comedia dell arte dan akrobasi. Dengan Alberto saya main teater di Paris, karena ada penggunaan topeng, cerita: Tabarin, sutradara David Esrig (Rumania) di Palais de Chaillot, Paris, direction Jack Lang (ex menteri kebudayaan Perancis, yang mengundang Sardono di Tahun 1974.
Nah demikian saling berkaitnya unsur-unsur penentu jalan kehidupan.
Untuk projek Oedipus ditahun 1982, Stavros meminta saya untuk melatih aktor Spanyol di Madrid bagaimana menggunakan topeng. Topeng topeng itu dibuat special oleh teman perjalan hidup saya waktu itu, Kathy Partouche dari Nice, yang dulunya meyakinkan saya untuk ikut dalam Conférence des Oiseaux projeknya Peter Brook 1979. Dengan Kathy saya kunjungi India, Khasmeer, tour turistik. Kemudian dengan dia ke Bali, Kathy yang belajar di Beau Arts, belajar membuat Topeng juga dengan Ida Bagus Anom di Mas, Bali. Untuk projek ini Stavros mengikutkan Kathy, agar dia yang membikin topeng topeng pertunjukkan di Madrid. Beberapa topeng harus dibikin di Madrid. Kami berdua diberi kan sebuah appartement, yang dijadikan sekaligus atelier/bengkel pembuatan topeng. Tugas kami berdua sangat berat tanggung jawabnya. Dalam proses itu ada satu momen katharsis, krisis, yang membahayakan. Ahhh ini perlu lembaran lain untuk bercerita. Memanén kebijaksanaan hidup.
Yang saya temukan menarik dalam proses kreasi itu, adalah bagaimana menumbuhkan benih rasa "keramat" sang aktor oksidental, yang berorientasi dengan teknik acting intelektuil. Sedang beberapa petuah guru tua yang saya dapatkan selama tour Dongeng dari Dirah ditahun 1974 (La sorcière de Dirah): diantaranya pak Pugra, pak Tempo, Ida Bagus Geria, dan teman teman serombongan, dimana di Paris kami tinggal di hotel Roubaix, 4 orang satu kamar. Saya beruntung tidur bersama dengan orang tua-tua, dimana setiap pagi pak Pugra menyiapkan sepotong roti baguette Prancis, dan kopi, pertama tama baru bangun disuguhkan , dihaturkan ke katung (keranjang bambu) dimana topengnya disimpan diatas lemari. Ya, tradisi Bali, kepala, benda suci, benda keramat, benda sungsungan harus distanakan/diletakkan diatas, tak boleh dilangkahi. Setelah menghatur sesaji kopi roti bermentega dan berselai manis, barulah pak Pugra mulai sarapannya. Selain itu ajaran pak Pugra yang penting, yang akan menemani kreasi workshop tribuana saya, adalah antara lain hal keseharian seperti itu.
Dia menurunkan ilmunya, dengan bahasa Bali: Bila sang anak mau "mesolah" (terjemahan barat: acting), harus memahami didiri catur wangsa yang ada di Bali.
1: Brahmana di kepala (sianr, api, maha pencipta) para pandita ahli ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan,
2: Ksatriya di dada (ketabahan, keagungan, pengayum kerajaan dan rakyat), Pemerintah (maaf saya tidak setuju dengan kata pemerintah untuk Pemerintah, sebaiknya diganti dengan Pemangku, seperti hikmah yang bisa diresap dari kata Hamengku Bhuwono,
3: Waisya di Perut (pedagang, pengolah kekayaan materi) mereka yang memproduksi barang dagangan, untuk keperluan kehidupan.
4: Sudra di 2 lengan dan 2 kaki (pekerja, pelaku; pelaksana pembangunan, menjadikan nyata apa yang ada dikepala). Kenyataan 2 , kiri kanan, bisa menyaran, mensugesti menteladan bagi orang yang berkecimpung di politik, partai kiri partai kanan mestinya mendukung apa yang mestidi junjung di tengah, jalan tengah mengarah kedepan dorongan inti sari masa lalu yang berguna diteruskan.
Pak Pugra, memekar idenya dipikiran saya, dia membedakan antara tari dan solah, olah seni gerak badan dan olah seni kehidupan yang menyelaras di lingkungan.
Inspirasi pembangkit, penuntun, ada di beberapa pengalaman:
Ketika pak Pugra selesai mendemonstrasikan tari Bali tradisi di Palais de Chaillot (saya jadi pembantu berpakaiannya), pak Pugra ketika ditepuk tangan akhir pertunjukan, dia senyum dan menunduk hormat seraya mengambil topeng, dengan gestuel tangan, menyarankan: "bukan saya, tetapi ini (menunjuk ke Topeng)". Sikap ini melayangkan ingatan saya ke Bali, odalan Pura Tambangan Badung, bahwa adanya Pemangku di Pura, itu teladan buat saya, bahwa sang aktor, pregina adalah peladén kehendak "HiYang didukungnya" = topeng, dll. Konsep aktor peladen, pemangku, pengejawantahan junjungannya. Ready to serve, selalu siaga meladéni. Acteur serviteur, ini yang saya kembangkan di Eropah, warisan ajaran leluhur. Inilah kemudian yang saya sarankan, ajarkan kepada aktor-aktor Oedipus di Madrid itu, di Yunani, dan dipemngajaran seni olah Tribuana.
Dari karya topeng sebagai hasil seni, product of art, meningkat menjadi "sesuatu yang lebih penting dari diri sendiri", men stana kan di topeng karakter yang akan dimainkan, sungsungan, junjungan, yang di pangku, bukan yang di perintah. Topeng memainkan aktornya. Koncep Pemerintah memerintah, dipertemukan dengan konsep pemangku (rakyat) yang memangku. Maka setiap aktor, sebelum melengketkan topeng dimukanya, dia harus menghormati, duduk berhadapan didepan topeng, posisi topeng lebih tinggi dari muka. Oh Oedipus (Tiresias, Jocasta, dll tergantung nama perannya) ijinkan saya memerankan, melakukan pengejawantahan rohmu, menghidupkan jiwamu dijiwaku, di badanku, di pikiranku, diucapanku. Bila ada kesalahan agar saya mohon diampuni agar tidak kena kutukan. Tata santun menghidupkan jiwa/roh menjadi tata susila seorang aktor, pregina/pesolah/pelaku. Maka setiap sebelum pementasan, dikamar rias mereka, mereka melakukan upacara kusuk topeng dan aktor. sejenak.
Ah terbit ingatan sekarang ini sedang menulis seni bertopeng dan berpakaian secara sacral, pengalaman saya sebagai aktor pendeta Buddha dan pemain suling shakuhachi satu not/suara di opera: Das Lied Von der Erde", Mahler, Sutradara Yoshi Oida (actor peran Drona di Mahabharata), Maestro music David STERN, berkenaan dengan bagaimana upacara memakai pakaian Biksu Buddha Jepang, Yoshi Oida, memberikan cara cara berpakaian. Tiap saat mengambil pakaian ada mudra tangan dan doanya, sebelum memakai busana. Tiap lapis busana, ada doa nya, tiga lapis pakaian, tiga doa.
Ingat juga bila kita melihat pregina/aktor tradisi topeng Bali, mereka selalu menghatur sesaji ke Topengnya sebelum dipakai/ dimainkan (ah, menurut saya: bukan saja aktor memainkan topeng, tetapi juga topeng memainkan sang aktor. Persentasinya? Tergantung pelakunya. sikap ini membawa risiko, kesadaran akan pengabdian, penghormatan, mana milik sang aktor, sang pekerja, mana milik sang karakter, topeng, junjungan yang diladeni, yang memberikan wibawa, kekuasaan hingga karisma (taksu) kepada sang aktor peladennya.
Ini sebuah video yang saya bikin sebagai suluh, sikap, gestual, ritual topeng; untuk siapa yang berkenan.
Suatu malam sebelum pertunjukkan di Nancy, Perancis, pak Pugra panik, berkata kepada saya dibelakang panggung,
* "Dé, mati suba bapa jani, to to to, mekejang suba nunjukin kéto, bapa salah, radioné ngorahang kéto ...." Dé Tapa, Bapa akan mati sekarang, tu tu uh, semua sudah menyebut begitu, Bapa disalahkan, siaran radio (TV) bilang begitu , ...
-Nguda dados kénten Bapa"? Kenapa demkian bapak?
* "Engsapin ada topeng jumah, sing ada ané ngerunguang, sing ada ané ngaturang banten, canang sari sewai wai" Tak ada yang yang menghiraukan, tak ada yang menghaturkan sesacén, kembang setiap hari.
Nah, laku pak Pugra berhubungan dengan kepercayaan, keyakinan, kebiasaannya. Ahh ini mengingatkan saya dengan ceritanya, sungsungnnya, RGM yang bertahta di Nusa Penida, Mahluk Gaib, yang selalu menemani dia dimana dia mesolah/ menarikan lakon di Bali. Pregina Pugra, meninggal di Solo, waktu pentas disana.
Aktor mengolah latihan tiap hari, hingga jadi kebiasaan, kebiasaan membangun karakter, karakter mengendarai nasib.
Mahluk gaib yang bermukim di topeng, sang aktorlah yang harus mengundangnya, dari bayangan, disimpanan ingatan pengalaman. Tanpa pengalaman, modal acting tak menemu fondasi yang kuat. Ha haaaa, hati hati menterjemah kalimat saya yang terakhir ini, jangan diterapkan untuk acting pembunuh aktor harus punya pengalaman membunuh. AH, NO no no, Tidak perlu, itu interpretasi murahan bodoh untuk orang dungu, biri biri penganut ikut ikutan membuntut dibuntut, yang bisa dikebiri nantinya, jadi korban pengikut tanpa kesadaran, pengékor.
Aktor tribuana harus berpikiran jernih, menerang, cerdas, kreatip mengurak kebenaran yang tersimpan dibalik selubung, dibalik kulit lahiriah, dibolak-balik kata kata. Meneruslah diluar kata. Menyeberangi arus sungai kehidupan, dari tebing sang satu ketebing yang lain, sari inti kalimat jembatannya. Ada kalanya kata kata, kalimat harus diparking. Untuk menemui seseorang dikota lain, setelah sampai didepan rumah, mobil diparking. Begitu ibaratnya, kata kata yang sucipun satu ketika (tergantung kematangan, kedalaman pemakainya) harus dilepas, ditinggal. Doa tanpa bahasa, sari acting Tribuana. Ahh, saya tutup koma disini, nanti ini bisa berkelanjutan bicara tentang agama. Baca juga AGEMan. What have you in your hands? Apa di genggaman,
Stavros Dufexis, sutradara Yunani, bekerja dengan bahasa Yunani dalam memberi petunjuk kepada aktor Spanyol, diterjemakan dalam bahasa Spanyol oleh Maria. (kalau tak salah ingatan saya, itu namanya.) Demikian terjemahan selesai, Stavros, berteriak kepada saya, "Tapa, Execution". hmmm, linglunglah saya diantara dua bahasa yang tidak saya kuasai. OK, saya lakukan, dengan meraba-raba apa yang tersirat diudara. ha haaa. Dari sembahyang berkembang bunga, sembahyang didepan Pelinggih, Padmasana, Patung apapun boleh, tapi jangan parking tujuan, acep/cipta di patung, di Padmasana yang berbentuk kursi, tempat duduk, apa yang didudukkan di kursi kosong itu? adalah buah renungan sang cipta, Human makes its own God. Sekarang kita masih tingkat idolatri, memuja benda, memuja Tuhan yang bisa meng hantu, memuja kalimat, memuja menghormat, menta'ati hukum lewat medan silat kata, demokrasi, seni silat mempertahankan/ membela kehidupan berbudaya luhur, budhi luhur, .....silahkan menerus, asal nggak nabrak tongkak listrik, atau berpura sakit atau gila menghindari hukuman, yang menghukum ada di DIRI; Ber di kari, mandiri.
Jadi ketika saya tak mendapatkan terjemahan dari penterjemah sang sutradara, saya beraksi sebisanya dari inspirasi kata yang bermahkota menata susila sang pengolah (pregina).
Tetapi action direct tanpa terjemahan seperti itu tidak selalu diutamakan, terkadang saya minta diterjemahkan juga bila ada hal yang perlu dimasukkan di otak. Sebagai wong gelandangan urakan Bengkel Teater, Areng Widodo punya moto: "Bén kéré asal gaya, pak, lakoni waé ! !!!", ha haaa
Untuk memberi petunjukkepada peran utama, José Luis Gomèz, itu produksernya yang harus saya hormati dengan sila santun berbudaya. Bagaimana, bila bila perlu berteriak dalam tuntunan? Sebelumnya saya siap para aktor agar bisa menyisihkan keterikatannya dengan peran yang dijunjungnya. Petunjuk ditujukan untuk penbangunan peran, karakter yang dimainkan. Ilmu dan emosi bagai cahya dan warna.
Tulisan berikut, saya akan mencoba menggali suratan pita waktu lalu, pengalaman saya di Athena bersama Stavros Dufexis, di drama The Supliantes (Eschyles) /Pemasok (Aeschylus)di Athena dan Epidavros.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home